Puasa Gacon
Selamat pagi dan selamat menjalani aktivitas hari ini. Semoga tetap semangat dalam menjalani rutinitas harian, ditengah situasi pandemi yang hampir dua tahun melanda negeri ini.
Pastinya, diantara kita hari ini ada juga yang sedang menyiapkan acara untuk besok; hari raya idul adha. Bikin semur, opor, gemblong, waahlihi, wasohbihi, ajmain. Bahkan hari ini ada juga yang puasa. Puasa arafah. Ya, puasa gacon! Lho koq gitu? Mari gelar tikar. Siapkan kopinya!
***
Tuhan menyampaikan petunjuk hidup bagi manusia lewat firmanNya. Firman Tuhan tertuang dalan kitab suci. Bahasa kitab suci disesuaikan dengan bahasa yang digunakan oleh umat dimana mereka berada.
“Bahasa Tuhan” kadang lugas, kadang “ambigu”, tepatnya abstrak. Yang lugas mudah dimengerti dan langsung bisa dipraktikan tanpa harus mengerenyitkan dahi. Yang abstrak mesti ditafsirkan. Itulah mengapa bermunculan buku tafsir. Ya kitab tafsir.
Pun demikian dengan hadits. Lisan, lampah, dan sikap Nabi Muhammad SAW ada yang praktis dan ada yang kontekstual. Yang praktis bisa langsung dicontoh dan dipraktekan. Yang kontekstual mesti dihubungkan dengan situasi yang melatari hadits itu keluar.
Memaknai hadits yang masuk kategori kontekstual ini, bukan hanya mesti kita pahami peristiwa yang melatarinya saja. Tetapi juga, hubungannya dengan peristiwa lain, dan tentu saja keselarasan maksud dengan firman Tuhan dalam kitab suci. Perkara itu dibahas dalam mustholahul hadits.
Termasuk pemahaman kita atas makna hadits Nabi Muhammad SAW tentang puasa arafah dan keutamaannya. Keutamaan puasa arafah demikian populer di kalangan umat Islam. Bahwa bila melakukannya, bisa menghapus dosa selama dua tahun; setahun ke belakang, dan setahun ke depan.
Tanpa bermaksud menafikan motivasi sebagian dari kita yang tulus berpuasa arafah tanpa “iming-iming” imbalan, bila mesti diakui dengan jujur, banyak yang “mendadak puasa” justru karena “bonus” ini. Bayangkan, siapa yang tidak “tergiur”, hanya dengan sehari puasa, dua tahun dosa terhapus. Termasuk dosa yang “akan kita lakukan”.
Puasa arafah seakan menjadi “gacon”. Gacon itu apa ya? Ya semacam sesuatu atau barang yang dianggap unggulan, aji pamungkas, jurus terakhir, ratu adil, yang bila ia sudah beraksi, maka akan menyelesaikan semua persoalan. Gacon dikenal dalam permainan kelereng. Seperti bola putih dalam permainan billiard.
Mengapa puasa arafah saya analogikan dengan gacon? Ya karena kerennya itu. Sekali jentik, semua kelereng yang keluar dari lingkaran jadi milik kita. Sekali sodok, semua bola billiards yang masuk lubang jadi milik kita. Sehari puasa arafah, dua tahun dosa dihapus.
Pastinya, logika sehat anda merasa ada yang musykil atas “bonus berlimpah” ini. Tapi biasanya, cara pandang logis ini runtuh oleh klausul bahwa “karena tak selamanya ajaran agama bisa dimengerti oleh logika”. Hanya dengan iman dan keyakinan akan muncul keberterimaan.
Sejatinya, saya tidak sedang membincang perkara antara dialektika logika dan agama atas sebuah perkara. Saya mah sedang membincang perkara “Keadilan Tuhan”; terminology yang familiar di kalangan Mutazilah. Istilah yang populer dikenalkan oleh Murthada Muthohhari.
Apa urusannya puasa arafah dengan hapusnya dosa selama 730 hari dengan Keadilan Tuhan? Itulah yang sedang saya cari. Mari kita diskusi!
(Man)
Penulis : Ocit Abdurrosyid Siddiq
Binuangeun, 9 Zulhijjah 1442 H, 19 Juli 2021