Oleh: [Syarif Al Dhin]
Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai solusi jitu untuk mendorong perekonomian. Namun, di sepanjang Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) dari Bakauheni hingga Palembang, narasi ini seolah mendapat tantangan besar. Alih-alih menjadi motor penggerak ekonomi lokal, jalan tol yang digadang-gadang sebagai kebanggaan nasional justru meninggalkan kisah pilu bagi masyarakat di sepanjang Jalan Lintas Timur (Jalintim) Sumatera.
Sepinya Jalur Lintas Timur: ‘Jalan Hantu’
Jalan Lintas Timur, yang dahulu dikenal sebagai urat nadi perekonomian Sumatera, kini berubah bak jalan tak berpenghuni. Usaha-usaha kecil yang dulunya ramai melayani pengguna jalan kini tutup satu per satu. Warung makan, kios oleh-oleh, bengkel, hingga SPBU terlihat tak lagi beroperasi. Banyak bangunan yang kosong dan terbengkalai, menciptakan suasana muram yang dijuluki masyarakat sebagai “jalan hantu.”
“Dulu, warung saya ramai pengendara yang mampir. Sekarang, sejak jalan tol beroperasi, siapa yang mau lewat sini? Semua kendaraan langsung masuk tol,” ujar Pak Rahmat, seorang pemilik warung makan di Jalintim, dengan nada sedih.
Kebijakan Kontroversial dan Efek Domino
Kondisi ini tak lepas dari kebijakan yang dinilai “sontoloyo” oleh banyak pihak. Kebijakan pemerintah yang mendorong penggunaan jalan tol tanpa memberikan alternatif bagi masyarakat lokal telah menimbulkan efek domino. Penutupan usaha masyarakat menjadi bukti nyata bahwa jalan tol tidak selalu membawa dampak positif jika tidak diimbangi dengan perencanaan sosial-ekonomi yang matang.
Salah satu aspek yang disoroti adalah kurangnya akses langsung dari jalan tol ke wilayah-wilayah strategis di Jalintim. Dengan demikian, arus kendaraan lebih terpusat di tol, meninggalkan wilayah sekitar dalam keterasingan ekonomi.
“Tol bagus untuk mempercepat perjalanan, tapi pemerintah harus ingat, kita ini hidup dari usaha kecil. Kalau semua orang lewat tol, kita mau makan dari mana?” keluh Bu Yanti, seorang penjual oleh-oleh khas Lampung.
Membangun Tanpa Melupakan Masyarakat Lokal
Fenomena ini seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah. Infrastruktur megah memang penting, tetapi dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat lokal harus menjadi prioritas. Program pemberdayaan ekonomi lokal, integrasi jalur tol dengan jalur tradisional, serta pengembangan kawasan istirahat (rest area) yang melibatkan masyarakat sekitar bisa menjadi solusi untuk mengurangi kesenjangan yang terjadi.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan yang telah dijalankan. Tanpa intervensi yang tepat, bukan tidak mungkin Jalintim dan usaha masyarakat di sepanjang jalur tersebut akan semakin terpuruk.
Harapan untuk Masa Depan
Sebagai salah satu proyek ambisius, JTTS memang diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi Sumatera. Namun, pembangunan tidak bisa hanya mengandalkan beton dan aspal. Harapan masyarakat di Jalintim adalah kebijakan yang lebih manusiawi, di mana infrastruktur dibangun untuk kesejahteraan semua, bukan hanya segelintir pihak.
Hingga saat itu tiba, Jalintim akan terus menjadi saksi bisu atas dampak pembangunan yang melupakan sisi kemanusiaan. Jalan hantu ini tak hanya sunyi dari kendaraan, tetapi juga sunyi dari harapan banyak orang.**
_Penulis adalah pengeritik keras Mulyono_
Silahkan di tambahkan kalau masih ada yang perlu di tambahkan