Lebak – Banten | memutus mata rantai penyebaran Covid-19, pemerintah memberlakukan beragam cara. Mulai dengan cara yang paling minim dampaknya terhadap masyarakat, hingga cara “ekstrem” yang berdampak terhadap hajat paling azasi bagi warganya.
Ada istilah lockdown, karantina, pembatasan sosial berskala besar, pembatasan pergerakan kegiatan masyarakat; mikro dan darurat. Entah apalagi nanti istilah yang digunakan ketika trend wabah semakin menurun, atau sebaliknya!
Apapun istilah yang digunakan oleh pemerintah, intinya adalah mengurangi aktivitas normal masyarakat. Tentu kebijakan ini berdampak terhadap berbagai aspek; pendidikan, ekonomi, bahkan juga berdampak terhadap kegiatan keagamaan; kegiatan beribadah.
Sejatinya, langkah pemerintah dengan beragam nama tersebut menunjukkan bahwa pemerintah peduli terhadap keselamatan dan kesehatan warganya. Bahwa kemudian menuai beragam efek, itu menjadi konsekuensi logis yang harus diterima.
Sudah lebih dari satu tahun masyarakat “terkurung dalam sangkar”. Kita seperti ikan lele yang hidup dalam kolam kecil dengan air yang tidak mengalir. Tentu berbeda dengan ikan yang hidup di air yang mengalir. Adalah wajar bila mulai muncul rasa jenuh. Lalu memunculkan beragam gugatan.
Ketika Presiden memperpanjang masa pembatasan pergerakan kegiatan masyarakat hingga tanggal 25 Juli 2021, muncul beragam reaksi dalam bentuk demo di berbagai kota. Yang viral, aksi mahasiswa Bandung di balai kota.
Tidak menutup kemungkinan aksi ini akan menjadi bola salju, lalu diikuti oleh mahasiswa dan warga di kota-kota lainnya. Bila sudah demikian, bukan hanya chaos secara politik, tetapi dikhawatirkan trend wabah kembali naik, karena aksi seperti itu dilakukan secara berkerumun.
Yang paling mengkhawatirkan adalah bila pemerintah mulai “kehilangan kesabaran”. Hal ini bisa terjadi bukan semata karena desakan mahasiswa dan warga dalam bentuk demo. Tetapi juga karena narasi yang dibangun secara masif oleh kelompok yang tidak percaya terhadap adanya Covid-19 yang terus disuarakan.
Akumulasi dari narasi ini, ditambah dengan aksi penolakan mahasiswa, warga, pedagang, pegiat wisata, ojek on-line, dan profesi lainnya, bisa membuat “pertahanan” pemerintah menjadi jebol. Lalu, atas desakan ini pemerintah mengubah regulasi; membuka “keran aktivitas” warga.
Tak terbayang, disaat pandemi masih melanda, karena desakan rakyat, lalu pemerintah hilang kesabaran dan mengatakan, “Ya sudahlah, silakan hidup normal sebagaimana biasa seperti sebelum pandemi. Tapi, resiko tanggung masing-masing!”. Pemerintah membiarkan rakyatnya bebas berkeliaran. Tanpa prokes, tanpa masker, tanpa jaga jarak.
Akhirnya, rakyat hidup dengan mengandalkan kekuatan imun masing-masing; siapa yang kuat, maka ia bisa bertahan, dan siapa yang lemah, itu adalah resiko. Herd immunity berlaku. Apakah kita mau masuk dalam kondisi seperti itu?
Langkah pemerintah selama ini adalah wujud peduli mereka terhadap warganya. Bahwa regulasi itu berdampak terhadap terbatasnya hajat hidup warga, maka bersabarlah. Mari kita bergandengan tangan, mendukung pemerintah mewujudkan kepeduliannya bagi keselamatan dan kesehatan rakyatnya.
Tak perlu demo, tak perlu membangun narasi untuk tidak memercayai. Bersabar dan perbanyak doa, semoga badai ini cepat berlalu. Dengan doa, semoga hati kita menjadi damai, teduh, dan lunak. Semoga hati kita tidak seperti semur-gemblong sisa lebaran di hari kedua tasyrik yang sudah mulai mengeras pagi ini
Penulis : Ocit Abdurrosyid Siddiq adalah warga biasa
Editor (Man)
Pasirgintung, 12 Dzulhijjah 1442 H, 22 Juli 2021