Home / Opini / Ketika Aktivis Menjadi Bayang-Bayang Kekuasaan: Ancaman Baru bagi Kepemimpinan Daerah

Ketika Aktivis Menjadi Bayang-Bayang Kekuasaan: Ancaman Baru bagi Kepemimpinan Daerah

 

Oleh: Masno

Jurnalis Nasional & Pemerhati Sosial

Dalam tatanan demokrasi yang sehat, keberadaan aktivis menjadi salah satu kekuatan penyeimbang kekuasaan. Mereka adalah suara rakyat yang kerap tak terdengar, penyalur kritik yang membangun, dan pengingat ketika kekuasaan mulai keluar dari jalur. Namun kini, muncul fenomena mengkhawatirkan yang terjadi di sejumlah daerah: sebagian aktivis menjelma menjadi kekuatan penekan, bukan lagi mitra kritis.

 

Fenomena ini bukan sekadar cerita, melainkan kenyataan di lapangan. Ada oknum aktivis yang justru mengintervensi urusan pemerintahan bukan demi kepentingan publik, melainkan demi kepentingan pribadi. Mereka kerap memberikan tekanan agar pejabat mengikuti kemauan tertentu—dari hal-hal yang bersifat simbolis dan personal, hingga permintaan-permintaan yang tidak relevan dengan pelayanan publik. Bahkan, jika tidak dituruti, para pejabat pasti akan terancam—baik melalui serangan di media sosial, pelintiran opini, hingga laporan kepada atasan atau kementerian yang dimaksudkan untuk menekan secara politik.

 

Pejabat Jadi Sandera Tekanan Sosial

 

Para pejabat publik yang seharusnya menjalankan amanah dengan tenang dan objektif, justru terjebak dalam pusaran tekanan non-struktural. Banyak di antara mereka yang akhirnya memilih “mengalah” demi menghindari kegaduhan, bukan karena pertimbangan kebenaran atau regulasi. Inilah kondisi yang membuat pejabat tidak lagi bisa tegak lurus menjalankan kebijakan: mereka harus menimbang suara yang paling keras, bukan yang paling bijak.

 

Pertanyaannya: apakah ini bentuk baru dari demokrasi? Tentu bukan. Ini adalah bentuk pemelintiran nilai demokrasi—aktivisme yang kehilangan ruh, dan kekuasaan yang kehilangan arah.

 

Rakyat Jadi Korban, Daerah Kehilangan Arah

 

Jika pola ini dibiarkan, maka yang dirugikan adalah rakyat. Daerah kehilangan arah karena keputusan diambil bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, tetapi karena tekanan segelintir pihak yang mengklaim mewakili suara publik. Aktivisme semacam ini justru mencederai perjuangan para pejuang rakyat sejati yang selama ini berdiri tanpa pamrih.

 

Sebaliknya, pejabat publik juga harus memiliki keberanian moral. Mereka dipilih atau diangkat untuk memimpin, bukan untuk tunduk pada tekanan tidak sehat. Jika semua keputusan didasarkan pada rasa takut, maka integritas pemerintahan perlahan akan hancur dari dalam.

 

Kembalikan Marwah Aktivisme dan Kepemimpinan

 

Demokrasi membutuhkan aktivis, tapi aktivis yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan kepentingan diri. Begitu pula kepemimpinan publik: harus punya daya tahan terhadap tekanan non-institusional. Negara ini tidak boleh dipimpin oleh ketakutan, melainkan oleh keberanian untuk benar.

 

Kita semua harus menjaga marwah masing-masing: aktivis dengan idealismenya, dan pejabat dengan integritasnya. Bila dua kekuatan ini bisa bersinergi secara sehat, maka bangsa ini akan kuat. Tapi jika keduanya hanya saling menekan dan menundukkan, maka kerugian akan ditanggung oleh mereka yang paling tidak bersalah—rakyat.

(Red)